PAPER
“Mortalitas : Faktor Penyebab Kematian Ibu dan
Bayi”
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Demografi Teknik
Dosen Pengampu :
Dr. Rosalina Kumalawati, M.Si
Disusun
Oleh :
MUHAMMAD FAJAR A1A513078
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
GEOGRAFI
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN
SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian adalah suatu keniscayaan
bagi makhluk hidup. Semua orang percaya bahwa pada suatu saat nanti mereka akan
meninggal. Tetapi anehnya, kejadian kematian memberi efek yang berbeda-beda
pada setiap individu. Reaksi seseorang terhadap kematian sangat dipengaruhi
oleh cara terjadinya kematian. Berdasarkan jenisnya, kematian dapat
dikategorikan menjadi: (1) kematian alami yang dapat diantisipasi (misal,
mengidap kanker, AIDS, atau penyakit berat lainnya), (2) kematian alami yang
tidak dapat diantisipasi (misal, serangan jantung, kecelakaan/bencana), (3)
kematian “tidak alami” yang disebabkan pembunuhan, atau bunuh diri (Range,
Walston,& Pollard, 1992; Silverman, Range, & Overholser, 1994).
Sebagian ahli menemukan bukti-bukti bahwa jenis kematian tidak bertalian dengan
penyembuhan duka (Campbell, Swank,& Vincent, 1991), tetapi banyak ahli
lainnya menyebutkan bahwa jenis kematian mempengaruhi pengalaman atau reaksi
duka seseorang (Drenovsky, 1994; Ginzburg et al., 2002; Levy et al., 1994;
Silverman et al, 1994)
Menurut World Health Organization
(WHO 2005) dan International Statistical Classification of Diseases-10 (ICD-10)
penyebab kematian adalah semua penyakit, kondisi penyakit atau cedera yang
berkontribusi terhadap kematian dan penyebab luar kecelakaan atau kekerasan
yang menghasilkan cedera.
Salah
satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Ibu dan Angka
kematian Bayi. Kondisi derajat kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih
memprihatinkan, antara lain ditandai dengan masih tingginya Angka Kematian Bayi
dan Angka Kematian Ibu. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 228 per
100.000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 34 per pada 1000
kelahiran hidu. Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Develoment
Goals/MDG’s 2000) untuk tahun 2015, diharapkan angka kematian ibu menurun
dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka
kematian bayi menurun dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 per 1000 kelahiran
hidup (Depkes, 2011).
BAB
II
PEMBAHASAN
DAN ANALISIS
2.1 Pembahasan
Didalam pembahasan ini saya mengambil data dari dua jurnal mengenai Penyebab
Kematian Ibu Melahirkan dan Kematian Bayi.
2.1.1 Jurnal pertama berjudul Studi Kematian Ibu dan Kematian Bayi di
Provinsi
Sumatera Barat:
·
Fasilitas
Pelayanan dan Sumber Daya Kesehatan
Provinsi Sumatera Barat memiliki
fasilitas pelayanan kesehatan yang relatif cukup memadai. Jumlah pusat pelayanan
kesehatan di Sumatera Barat mencapai 7.557 yang terdiri dari 20 rumah sakit
pemerintah, 28 rumah sakit swasta, 3 rumah sakit TNI/Polri, 226 puskesmas, 828
puskesmas pembantu, dan 6.452 posyandu. Namun, hal ini tidak diikuti dengan
ketersediaan sumber daya kesehatan yang memadai terutama tenaga kesehatan di
lapangan. Data Dinas Kesehatan Sumatera Barat tahun 2007 menunjukkan jumlah
tenaga kesehatan lapangan belum memadai bila dibandingkan sebaran-sebaran
desadesa tempat pemukiman penduduk (Lihat Tabel 1).
Wilayah yang demikian luas dan
beratnya medan, terutama di daerah-daerah pemekaran merupakan factor yang
menyebabkan distribusi petugas kesehatan di lapangan belum tersebar dengan
baik.
·
Status
Kesehatan Penduduk
Data Dinas Kesehatan Sumatera Barat
memperlihatkan adanya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Sumatera Barat
yang dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain AKI, AKB, dan umur
harapan hidup (UHH). AKI Sumatera Barat turun dari 390 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2000 menjadi 240 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2005.
AKB Sumatera Barat juga mengalami penurunan secara signifikan selama 5 tahun
terakhir yaitu dari 49,67 per 1.000 kelahiran hidup tahun 2000 menjadi 38 per
1000 kelahiran hidup tahun 2005. Peningkatan ketersediaan fasilitas atau
aksesibilitas ke pelayanan kesehatan serta petugas kesehatan merupakan faktor
penting penurunan
AKB
tersebut. Penurunan AKB yang cukup bermakna juga akan berpengaruh terhadap
peningkatan UHH. Data Dinas Kesehatan menunjukkan UHH Sumatera Barat meningkat
dari 64,4 tahun (2000) menjadi 68,4 tahun (2005), walaupun angka ini masih
dibawah kenaikan UHH provinsi tetangga.
·
Karakteristik
Ibu Melahirkan
Sepanjang tahun 2007 terdapat 75.018
orang ibu yang melahirkan anak hidup. Distribusi ibu melahirkan berdasarkan
karakteristik ibu menunjukkan bahwa 81,9% ibu melahirkan berusia antara 20-35
tahun, 60% berpendidikan setingkat SLTP-SLTA, 82% tidak bekerja, 79,8%
mempunyai anak < 3 orang, 89,2% melahirkan secara normal, dan 88,3% memilih
petugas kesehatan sebagai penolong proses persalinannya.
·
Kematian Ibu
Sekitar 90.000 kehamilan sepanjang
tahun 2007 terdapat 159 kematian ibu, baik dari proses kehamilan, per-salinan
maupun nifas sehingga AKI di Sumatera Barat tahun 2007 adalah 211,9 per 100.000
kelahiran hidup. Distribusi AKI menurut kabupaten/kota menunjukkan bahwa dari
19 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Barat hanya 3 kabupaten/kota yang telah
mencapai sasaran MDGs dan Indonesia Sehat 2010 yaitu kabupaten Tanah Datar,
Kota Solok, dan Kota Sawahlunto (AKI < 120 per 100.000 kelahiran hidup).
Tiga belas kabupaten/ kota lainnya masih sangat jauh dari target MDGs dan Indonesia
Sehat 2010. AKI Sumatera Barat lebih tinggi terjadi pada kelompok ibu yang
melahirkan pada usia < 20 tahun atau > 35 tahun, mempunyai paritas lebih
dari 3, dan berpendidikan rendah (SMP/kurang) (Lihat Tabel 2).
Hasil penelitian juga memperlihatkan
AKI lebih tinggi terjadi pada ibu yang cara persalinannya ditolong dengan
tindakan (AKI = 862,6 per 100.000 kelahiran hidup) dibandingkan ibu yang
persalinannya berlangsung spontan (AKI = 164,5 per 100.000 kelahiran hidup).
Tingginya AKI pada kelompok ini disebabkan karena tindakan terhadap ibu umumnya
dilakukan setelah melalui perjalanan yang panjang dan sangat melelahkan dari
petugas kesehatan atau dukun dengan fasilitas yang kurang memadai. Keputusan
merujuk juga tidak diambil dengan segera karena harus melalui proses yang panjang
di lingkungan keluarga ibu.
·
Karakteristik
Bayi
Sepanjang tahun 2007, terdapat
75.018 bayi lahir hidup dimana 53,6% diantaranya berjenis kelamin lakilaki dan
47,4% berjenis kelamin perempuan. Bila dilihat dari urutan anak dalam keluarga,
31% bayi merupakan anak pertama; 29,2% anak kedua; 19,7% anak ketiga; dan
sisanya anak kelima sampai kedelapan. Rata-rata panjang dan berat bayi yang
lahir pada tahun 2007 di Sumatera Barat adalah 48,46 cm (rentang 45-55 cm) dan 3155
gram (rentang 1.400-3.200 gram).
Distribusi bayi berdasarkan tingkat
pendidikan dan pekerjaan orang tua menunjukkan sebagian besar bayi mempunyai
bapak yang bekerja sebagai petani (41,1%), ibu yang tidak bekerja (82%) serta
berpendidikan SLTP-SLTA (63,5% dan 59,5%). Distribusi bayi berdasarkan cara dan
penolong persalinan memperlihatkan sebagian besar bayi lahir secara normal
(89,2%) dan ditolong oleh bidan dalam proses kelahirannya (69,4%). Pemilihan
penolong persalinan merupakan faktor yang penting bagi pengurangan risiko kematian
pada bayi dan ibu.
Penelitian ini menemukan adanya
2.136 kasus kematian bayi dan 75.018 kelahiran hidup di Sumatera Barat sepanjang
tahun 2007 sehingga AKB Sumatera Barat tahun 2007 berkisar 28,4 per 1000
kelahiran hidup. AKB tertinggi terjadi di Kota Solok (47,9 per 1000 kelahiran hidup),
sedangkan AKB terendah terjadi di KotaBukittinggi (14,9 per 1000 kelahiran
hidup). Distribusi AKB berdasarkan karakteristik ibu menunjukkan AKB lebih
tinggi terjadi pada kelompok ibu yang berumur < 20 tahun atau > 35 tahun,
berparitas lebih dari 3, berpendidikan rendah (SMP/kurang), dan ditolong oleh
tenaga nonkesehatan dalam proses persalinannya (Lihat Tabel 3).
Penyebab kematian bayi di Sumatera
Barat sepanjang tahun 2007 adalah asfiksia (65,3%), kelainan congenital (11,8%),
infeksi (8,3%), diare (6,1%), tetanus neonatorum (1,4%), dan lain-lain (7,1%).
Berdasarkan distribusi frekuensi umur kematian bayi diketahui bahwa 51,5% kematian
bayi terjadi pada saat bayi berumur lebih dari 28 hari, 41,3% saat masa
perinatal (< 7 hari), dan 7,2% saat masa neonatal (7-28 hari).
·
Pembahasan
Banyak faktor yang memberikan
kontribusi terhadap kematian maternal diantaranya adalah penolong persalinan, tempat
persalinan, ANC yang tidak sesuai dengan ketentuan atau tidak melaksanakan ANC
serta faktor pihak ibu (paritas, status kesehatan, status gizi, dan kebersihan diri)
merupakan faktor yang penting.
Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa penyebab utama kematian ibu di Sumatera Barat sepanjang tahun 2007 adalah
pendarahan (32%), eklampsia (14%), partus lama (12%), infeksi (11%), abortus
(14%), penyakit jantung (5%), dan lain-lain (12%). Proporsi kematian ibu karena
perdarahan lebih banyak terjadi pada ibu dengan paritas > 3 orang (58,1%)
dibandingkan ibu dengan paritas ≤ 3 orang. Kasus kematian ibu akibat perdarahan
terjadi pada persalinan yang ditolong oleh dukun (30%). Perdarahan ibu terjadi
karena retensi plasenta, anemia berat, partus lama, dan lainnya. Perdarahan postpartum
dapat dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat miometrium.
Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi miometrium itu yang disebut dengan
atonia uteri yang merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan postpartum.8
Penyebab kematian ibu yang cukup tinggi pada persalinan disamping perdarahan
adalah pre-eklampsia (30%). Pre-eklampsia ditandai dengan edema, hipertensi,
dan proteinuria. Sedangkan penyebab utama kematian eklampsia adalah edema paru
yang disertai dengan gangguan fungsi ginjal dimana filtrasi glomerulus turun
sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis dan berlanjut ke oliguri bahkan
sampai anuri (gagal ginjal). Pre-eklampsia didapatkan spasmus pembuluh darah
disertai dengan retensi garam dan air, spasmus pembuluh darah yang hebat hanya
dapat dilewati oleh 1 sel darah merah. Bila spasmus ini ditemukan di seluruh
tubuh menyebabkan tekanan darah meningkat untuk mengatasi tahanan perifer agar
oksigenisasi jaringan dapat dicukupi. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
pada otak dimana resistensi pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam
kehamilan lebih meningkat terjadi pada eklampsia.
Penyebab kematian ibu yang lain
adalah partus lama. Persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam digolongkan partus
lama. Permasalahan harus dikenali dan diatasi sebelum batas waktu 24 jam
tercapai. Sebagian besar partus lama menunjukkan perpanjangan kala 1, apapun
yang menjadi penyebabnya, serviks gagal membuka penuh dalam jangka waktu 14
jam. Sebab utama dari partus lama adalah disproporsi feto pelvik, malpresentasi
dan malposisi serta kerja uterus yang tidak efisien, termasuk serviks yang
kaku. Disamping itu, primigraviditas dan ketuban pecah dini ketika serviks
masih menutup, keras, dan belum mendatar.11,12 Besarnya jumlah kasus kematian
ibu di rumah sakit, terutama Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) M. Djamil
merupakan hal menarik yang ditemukan dalam penelitian. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu jauhnya jarak antara rumah sakit dengan tempat asal
rujukan ibu, keterlambatan dukun atau petugas kesehatan merujuk, keterlambatan
pengambilan keputusan oleh keluarga, kelalaian ibu dalam memeriksakan diri saat
hamil, faktor petugas rumah sakit (terutama rumah sakit umum daerah) yang belum
memiliki science of crisis yang memadai serta masih banyaknya dukun
tidak terlatih yang memberikan jasa pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kematian ibu terdapat beberapa masalah yang
perlu ditelusuri dan diperbaiki lebih lanjut yaitu manajemen pelayanan
kesehatan ibu dan anak (KIA) yang belum bekerja secara efektif, sumber daya
kesehatan yang belum memadai, dan perilaku masyarakat terhadap kesehatan yang
masih rendah. Proporsi penyebab kematian bayi dengan asfiksia, diare, dan
infeksi lebih besar pada ibu dengan paritas ² 3 orang (65,6%; 6,5%; dan 9,3%)
dan berpendidikan SMP kebawah (68%; 6,5%; dan 10,1%). Ibu yang mempunyai tingkat
pendidikan rendah mempunyai kecenderungan untuk mengalami kematian bayi yang
lebih besar. Hal ini terjadi karena keterbatasan pengetahuan ibu dalam merawat
bayinya sehingga berisiko tinggi untuk terjadinya diare dan infeksi. Proporsi
penyebab kematian bayi dengan kelainan konginetal dan penyebab lain lebih besar
pada ibu dengan paritas > 3 orang (12,6% dan 7,7%) dan berpendidikan SMA
keatas (12,4% dan 7,8%). Bayi yang dilahirkan dengan kelainan congenital mayor
memiliki risiko kematian 34,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang
dilahirkan tidak mengalami kelainan kongenital mayor. Bila dihubungkan penyebab
kematian bayi dengan tempat persalinan berlangsung akan ditemukan bahwa 76,9%
kematian bayi karena asfiksia terjadi pada persalinan di dukun. Asfiksia
neonatorum yaitu suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini sering disertai dengan
hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia terjadi pada bayi
asfiksia yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstra
uterin.13,14 Kematian bayi karena kelainan kongenital sebesar 16,9%. Kelainan
kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur tubuh bayi yang timbul
sejak kehidupan konsepsi. Kelainan kongenital merupakan penyebab penting
terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya kelainan kongenital, diantaranya kelainan genetik,
mekanik, infeksi, obat-obatan, umur ibu, hormonal, radiasi, dan gizi. Kelainan
kongenital yang utama adalah kelainan jantung dimana kematian bayi terjadi 80%
dalam tahun pertama dan sepertiganya meninggal pada minggu pertama
kehidupannya. Penyebab kelainan jantung bawaan dapat bersifat eksogen yaitu
infeksi rubella, obat-obat yang diminum ibu, dan radiasi.13 Kematian bayi
karena infeksi mempunyai proporsi yang cukup besar dibandingkan dengan penyebab
kematian yang lainnya. Infeksi interanatal lebih sering terjadi dimana
mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Interval waktu lebih kurang 12 jam antara pecahnya ketuban dan lahirnya
bayi. Pecahnya ketuban mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentitis
dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya
pada partus lama dan sering sekali dilakukan manipulasi vagina. Infeksi lain
terjadi pada janin pneumonia kongenital, septisemia blenoria, dan oral
trush. Kasus ini sering terjadi pada persalinan di rumah ibu, sedangkan
proporsi kematian bayi karena penyebab lainnya lebih besar terjadi di rumah
sakit.
Kematian bayi karena diare ditemukan
sebesar 13,6%. Kasus ini lebih tinggi pada neonatus dimana penyebab epidemi
diare dengan mortalitas yang tinggi disebabkan oleh bakteri Escherichia coli.
Bakteri Escherichia coli tidak dapat menembus mukosa usus tetapi dapat
bersarang dalam lumen usus. Bakteri ini melepaskan toksin yang mengakibatkan
terjadinya sekresi usus meningkat sehingga terjadi dehidrasi dan asidosis. Keadaan
ini banyak ditemui pada persalinan di puskesmas.
Selain itu, ditemukan juga penyebab
kematian bayi 2,4% disebabkan oleh tetanus neonatorum yang disebabkan oleh Clostridium
tetani dimana toksinnya dapat menghancurkan sel-sel darah merah, merusak
leukosit, dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin neurotropik yang menyebabkan
ketegangan dan spasma otot. Komplikasi terutama karena spasma otot pernapasan dan
obstruksi saluran pernapasan yang dapat menyebabkan terjadinya asfiksia.
Kematian akibat kejadian tetanus neonatorum ini ditemukan 80% pada neonatus.
Penyakit tetanus neonatorum terjadi
dimana spora Clostridium tetani masuk melalui luka tali pusat karena perawatan
yang tidak steril, misalnya tali pusat yang dipotong dengan bambu, gunting yang
tidak steril atau tali pusat diberi abu, tanah, daun-daunan, dan lain-lain. Perjalanan
penyakit lebih cepat dan lebih berat dengan gejala sangat spesifik yaitu bayi
tiba-tiba panas, tidak mau menyusu, sianosis, adanya gejala trismus (mulut mencucu),
kejang, dan kaku kuduk. Kasus ini banyak terjadi pada persalinan di bidan
praktek swasta (BPS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyebab kematian balita di Sumatera Barat adalah demam (18,9%), kejang
(13,5%), diare (10,8%), dan gizi buruk (5,4%) dimana 38,7% meninggal pada usia
12-23 bulan dan 63,8% pada usia 24-59 bulan. Proporsi kematian balita lebih
tinggi pada balita yang mempunyai ibu dengan paritas ² 3 orang (63,8%)
dibandingkan ibu dengan paritas > 3 orang (38,7%).
2.1.2
Jurnal ke dua berjudul Faktor Penyebab Kematian Bayi Di Kabupaten Sidoarjo:
·
Pembahasan
1.
Faktor Ibu
Kematian bayi yang terjadi di
Kabupaten Sidoarjo sebagian besar dimiliki oleh ibu yang dapat dikatakan
sebagai umur aman dalam kehamilan yaitu antara umur 21-34 tahun dan paritas
yang cukup. Pada umur aman untuk kehamilan dengan paritas yang cukup ternyata
ada suatu fenomena yang melatarbelakangi kejadian suatu penyakit yang secara
tidak langsung mempengaruhi kondisi bayi, salah satunya riwayat kesehatan ibu
yang lalu (misalnya alergi, hipertensi, dll) dan riwayat keluarga (misalnya
hipertensi, diabetes, riwayat keturunan kembar,dll).
Selain itu ada faktor yang diluar
kondisi ibu saat hamil yang kemungkinan bisa mempengaruhi kondisi bayi,
diantaranya beban fisik, konflik keluarga, masalah ekonomi, serta kurangnya
perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Disatu sisi, banyak bayi yang lahir
prematur dan bahkan BBLR.
Dalam penelitian ditemukan bahwa
sebagian besar jarak kelahiran kurang dari 2 tahun. Dengan jarak kelahiran yang
kurang dari 2 tahun, kesehatan fisik dan rahim ibu masih butuh cukup istirahat
dan ada kemungkinan ibu masih menyusui. Adapun hal yang melatarbelakangi
mengapa ibu hamil dengan jarak kurang dari 2 tahun, antara lain suami ingin
segera mempunyai keturunan lagi dan adanya riwayat abortus. Penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian di Naragwal, India Utara. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kematian neonatal dan kematian bayi tertinggi terjadi ketika
jarak kelahiran kurang dari 1 tahun (Istiarti, 2000).
Informasi yang berhubungan dengan
perawatan kehamilan sangat dibutuhkan oleh semua ibu hamil dan keluarganya. Sebagian
besar tingkat pendidikan ibu tamat SMA. Adapun fenomena yang ditemukan di
lapangan berkaitan dengan tingkat pendidikan yaitu anak yang dilahirkan
merupakan anak pertama yang dimiliki oleh ibu dengan usia <20 tahun dan usia
ideal (21-34 tahun). Meskipun pendidikan cukup tinggi, jika dilihat menurut
usia, kemungkinan pengetahuan ibu mengenai kehamilan masih sangat rendah dan
tidak cukup waktu untuk mencari pelayanan semaksimal mungkin. Sehingga ibu
kurang memperhatikan kondisinya saat hamil.
Hampir separuh lebih kematian bayi
dialami pada masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian kemampuan daya beli
dan konsumsi untuk ibu saat hamil kurang terpenuhi. Akan tetapi, saat
pemeriksaan antenatal mayoritas memeriksakan kehamilannya pada seorang bidan puskesmas
ataupun bidan desa. Karena mereka memenggunakan jampersal. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Yandrida (2005) di Kabupaten Padang Pariaman tahun
2004. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa sebanyak 75,2% dari kematian
neonatal terjadi pada keluarga miskin.
Kebiasaan ibu yang menganggap bahwa
kehamilan merupakan hal biasa memiliki riwayat pendidikan yang rendah serta
ekonomi yang rendah. Sehingga faktor tersebut secara tidak langsung diduga
dapat mempengaruhi kehamilan, proses persalinan dan pasca persalinan.
Kehamilan ganda atau hamil kembar
adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kondisi ibu yang memiliki
kehamilan multipel disertai riwayat kesehatan ibu yang lalu, seperti hipertensi
dan riwayat keluarga, seperti riwayat keturunan kembar, dapat berisiko terhadap
bayi yang dikandungnya. Didapatkan pula pada kehamilan multipel terdapat bayi
lahir sungsang dan kelainan kongenital. Disamping itu berat badan satu janin
kehamilan kembar rata-rata <2500 gr dan prematur. Hal-hal tersebut diduga
dapat menyebabkan kematian pada bayi.
Kebutuhan nutrisi yang adekuat
sangat mutlak dibutuhkan oleh ibu hamil agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi
bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dikandungnya dan persiapan fisik
ibu untuk menghadapi persalinan dengan aman. Temuan di masyarakat bahwa mereka
lebih mementingkan selera dengan mengabaikan makanan yang dikonsumsinya,
misalnya kesukaan ibuyang mengkonsumsi es teh, kesukaan mengkonsumsi makanan
yang berasa asin. Sehingga asupan nutrisi untuk bayi yang dikandungnya sangat
kurang dan dapat berakibat buruk terhadap bayi yang akan dilahirkannya.
Selain pola makan yang dihubungkan
dengan gaya hidup masyarakat sekarang, ternyata ada beberapa gaya hidup lain
yang cukup merugikan kesehatan seorang wanita hamil yaitu kebiasaan begadang.
Kebiasaan begadang yang dilakukan oleh ibu dapat mengurangi waktu istirahat
terhadap ibu dan bayi yang dikandungnya. Kondisi seperti ini tidak baik bagi
seorang wanita hamil. Kondisi seperti itu kemungkinan bagi wanita hamil dapat
melahirkan bayi yang belum cukup bulan (bayi prematur) serta dapat pula
menyebabkan kematian pada bayi akibat berat lahir rendah dan diikuti oleh
kondisi bayi yang kurang sehat.
Menyusui sebaiknya dilakukan setelah
bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir) karena daya hisap pada
saat itu paling kuat untuk merangsang pengeluaran ASI selanjutnya (Kamila,
2005). Pada kasus kematian bayi hampir semua bayi tidak mendapatkan ASI. Hal
tersebut diakibatkan karena ASI yang belum keluar sama sekali saat bayi sudah
lahir, ASI yang diproduksi sangat lancar namun bayi tidak sempat diberi ASI,
serta bayi mendapatkan campuran susu formula dari pihak rumah sakit.
Penyebab ASI yang tidak bisa keluar
diduga karena bayi lahir prematur sehingga kondisi fisik maupun psikologisnya
dapat mempengaruhi pengeluaran ASI, ibu sedang menderita sakit, ibu yang
mengalami depresi, cemas sedang ada masalah, mulut bayi yang kecil serta kurang
mendapat dukungan dari suami atau keluarganya dalam menyusui bayinya. Sehingga
ASI yang diproduksinya kurang lancar atau bahkan tidak bisa keluar sama sekali.
Pola
pengasuhan bayi yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi, pada hasil
penelitian menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI dengan tingkat
pendidikan rendah ataupun tinggi hasilnya tidak jauh berbeda. Pada tingkat
pendidikan ibu, baik rendah ataupun tinggi, tidak menjamin bahwa pengetahuan
ibu tentang pola pengasuhan bayi sudah cukup baik. Disisi lain informasi yang
diberikan petugas kesehatan seputar kehamilan, terutama mengenai ASI tidak
jelas dan kurang lengkap.
2.
Faktor Bayi
Lebih dari 50% kematian bayi yang
telah diidentifikasi, bayi yang meninggal adalah bayi prematur. Kematian bayi
yang disebabkan karena kondisi bayi sendiri, ternyata tidak lepas dari kondisi ibu
saat hamil sehingga menyebabkan bayi prematur. Mayoritas aktivitas ibu saat
hamil adalah bekerja berat dan informasi yang didapat saat pelayanan antenatal
tidak jelas dan kurang lengkap. Disisi lain kondisi fisik ibu yang menyertai
terjadinya kematian bayi prematur karena ibu mengkonsumsi obat, kandungan
lemah, kehamilan ganda, dan nutrisi yang kurang mencukupi. Karakteristik
demografi ibu yang menyertainya antara lain umur ibu saat hamil, paritas dan
jarak kelahiran yang memang berisiko terhadap kehamilan.
Kematian bayi yang diduga akibat
kelainan kongenital, dapat terlihat bahwa ibu bayi memiliki risiko terhadap
kandungannya. Diantaranya bayi lahir prematur dengan kelahiran kembar, bayi
yang meninggal memiliki rahang yang sangat kecil sehingga ASI yang diberikan
tidak bisa ditelan secara lancar, disamping itu bayi tersebut mendapatkan susu
formula dari pihak rumah sakit. Namun hal ini belum bisa dibuktikan pasti apa
penyebab dari kelainan kongenital sendiri.
Dilihat
dari riwayat kesehatan ibu, saat akan melahirkan tekanan darah meningkat, serta
keadaan jantung bayi mulai melemah, dan kelahiran dilakukan dengan cara seksio
sesarea. Dengan demikian, kemungkinan foktor tersebut yang dapat menyebabkan
bayi dengan lahir asfiksia dan menyebabkan kematian pada bayi.
3.
Pemberi Pelayanan Kesehatan
Ada kemungkinan bahwa kematian bayi
yang ditolong oleh tenaga kesehatan memiliki kendala selama pemeriksaan
kehamilan hingga proses persalinan, diantaranya alat medis yang kurang lengkap,
jarak jauh pada saat persalinan, dan transportasi kurang/terbatas. Disamping
itu terdapat faktor dari ibu maupun keluarga yang dapat mempengaruhi pemilihan
penolong persalinan, semisal pengambilan keputusan yang tidak atau kurang tepat
saat akan melahirkan serta faktor ekonomi dalam keluarga.
Pemeriksaan antenatal telah
dilakukan oleh ibu sebanyak lebih dari 4 kali. Namun, usia kelahiran masih
belum cukup bulan dan dapat menyebabkan kelahiran prematur dengan berbagai
faktor yang mendorong kelahiran prematur terjadi. Adapun kelahiran maturus yang
menyebabkan kematian pada bayi. Kematian bayi tersebut terjadi karena kelainan
kongenital, BBLR, riwayat kehamilan yang memang berisiko misalnya hipertensi
saat hamil. Jika dilihat berdasarkan frekuensinya, pemeriksaan kehamilan sudah
sesuai dengan teori yang ada.
Pada setiap kali kunjungan antenatal
tersebut, perlu didapatkan informasi yang sangat penting. Dilihat dari hasil
penelitian bahwa ibu yang berisiko merasa tidak pernah mendapat informasi yang
jelas dan lengkap seputar kehamilan. Kebanyakan ibu yang datang pertama kali ke
pelayanan kesehatan hanya untuk mengecek apakah mereka positif hamil atau
tidak. Setelah itu tenaga kesehatan hanya menyarankan untuk menjaga
kandungannya, makan-makanan yang bergizi. Dari hasil tersebut, informasi yang
diberikan masih kurang mendetail. Misalnya tenaga kesehatan memberikan contoh
makanan yang bergizi bagi ibu hamil, sehingga ibu hamil tersebut mengetahui
jenis makanan apa saja yang seharusnya dimakan dan tidak boleh dimakan.
Fakta lain dilapangan yaitu banyak
ibu yang selalu mengiyakan apa yang dikatakan oleh tenaga kesehatan, namun
sebenarnya ibu tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh tenaga kesehatan
tersebut dan ibu enggan untuk bertanya kembali; apabila hasil pemeriksaan
dirasa sudah cukup bagus/apa saja yang dikatakan tenaga kesehatan bahwa ibu dan
anak sehat-sehat saja, maka ibu dengan segera meninggalkan pelayanan kesehatan
tersebut; jika ibu tidak menanyakan atau lebih aktif bertanya seputar
kehamilan, maka tenaga kesehatan tersebut tidak memberikan informasi apapun.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya,
bahwa meskipun pendidikan ibu hamil tamat SMA/sederajat. Namun ibu tidak cukup
pengetahuan tentang kehamilan dan proses persalinan. Disamping itu tidak adanya
transportasi, dan juga kurangnya ibu atau keluarga untuk mengakses informasi.
Hal tersebut dikarenakan pemeriksaan
yang dilakukan hanya sebatas pemeriksaan secara umum saat hamil dan kurang
memberikan informasi yang penting seputar kehamilan ibu, ibu tidak begitu
menghiraukan apa kata petugas kesehatan. Memperhatikan hal tersebut di atas
maka hal yang berhubungan dan kejadian kematian bayi adalah pemeriksaan
kehamilan, petugas pemeriksa kehamilan, tidak diberikan ASI kepada bayi. Hal
lain yang terjadi adalah faktor penyulit persalinan, penyakit yang diderita
bayi, maupun perawatan bayi di rumah, kondisi ibu saat hamil. Ini terbukti
menurut data yang diperoleh bahwa faktor penyebab kematian sangat beragam
seperti melahirkan sungsang, kelainan sejak dalam kandungan, kondisi ibu saat
hamil yang menyebabkan bayi prematur, BBLR, dan asfiksia.
2.2
Analisis
Mortalitas merupakan salah satu dari
tiga komponen demografi selain fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi
jumlah dan komposisi umur.
Menurut WHO, mortalitas adaalah
suatu peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang
bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Mortalitas adalah ukuran
jumlah kematian (umumnya, atau karena spesifik) pada suatu populasi, skala
besar suatu populasi, per dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada
jumlah satuan kematian per 1000 individu per tahun hingga rata-rata mortalitas
sebesar 9,5 berarti pada populasi 100.000 terdapat 950 kematian.
Data di Indonesia menunjukkan masih
tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan juga Angka Kematian Balita (AKB) yaitu
42 per 1.000 kelahiran hidup. Angka yang cukup tinggi ini disebabkan oleh
banyak hal, diantaranya seperti pada kasus Kesadaran Rendah, Angka Kematian Ibu
Melahirkan Tinggi dan Kematian Ibu dan Bayi Kurang diperhatikan.
-
Analisis Jurnal
1. Jurnal pertama berjudul Studi Kematian Ibu
dan Kematian Bayi di Provinsi
Sumatera Barat
Angka Kematian Ibu (AKI) Sumatera
Barat menunjukkan penurunan dari 540 per 100.000 kelahiran hidup (1986) menjadi
310 per 100.000 kelahiran hidup (2002) dan 305 per 100.000 kelahiran hidup
(2003). Sekitar 90.000 kehamilan sepanjang tahun 2007 terdapat 159 kematian
ibu, baik dari proses kehamilan, persalinan maupun nifas sehingga AKI di
Sumatera Barat tahun 2007 adalah 211,9 per 100.000 kelahiran hidup
Walaupun mengalami penuruan namun
masih tergolong tinggi. Angka kematian ibu dan bayi yang tinggi disebabkan oleh
penyebab langsung dan tidak langsung selama masa kehamilan dan melahirkan ibu.
Penyebab langsung kematian ibu di Sumatera Barat sepanjang tahun 2007 adalah
pendarahan, eklampsia, partus lama, infeksi, abortus, dan lain-lain dan
penyebab tidak langsung berhubungan dengan penyakit yang diderita ibu sejak
sebelum kehamilan seperti penyakit jantung, kanker dan lain sebagainya.
2. Jurnal ke dua berjudul Faktor Penyebab
Kematian Bayi Di Kabupaten Sidoarjo:
Berdasarkan data BPS, AKB Jawa Timur tahun
2005-2010 turun dari 36,65 (tahun 2005) menjadi 29,99 per 1.000 kelahiran hidup
(tahun 2010). Dari laporan rutin tahun 2010 di Jawa Timur yang terdapat dalam
publikasi profil kesehatan Provinsi Jatim (2010), terjadi 5.533 kematian bayi
dari 589.482 kelahiran hidup. Kabupaten Sidoarjo merupakan penyumbang terbesar
ketiga dalam kematian bayi di Jawa Timur dengan jumlah 249 bayi.
Terdapat 3 faktor utama yang menyebabkan tingginya atau besarnya angka kematian
bayi di Kabupaten Siduarjo yaitu: 1) Faktor Ibu, 2) Faktor Bayi, dan 3) Faktor
Pelayanan Kesehatan
Dari dua jurnal tersebut selain dari
penyebab langsung kematian ibu dan bayi seperti penyakit yang diderita oleh Ibu
atau riwayat kesehatan ibu yang lalu (misalnya alergi, hipertensi, dll) dan
riwayat keluarga (misalnya hipertensi, diabetes, riwayat keturunan kembar,dll).
Serta banyaknya bayi yang lahir prematur dan bahkan BBLR.
Penyebab
lainnya yaitu penyebab tidak langsung seperti:
1. Pendidikan
Angka Kematian Ibu yang begitu
tinggi salah satunya karena tingkat pendidikan para ibu di Indonesia yang masih
sangat rendah. Jika kita melihat dari jenjang pendidikan, data Badan Pusat
Statistik tahun 2010 menyatakan bahwa mayoritas ibu di Indonesia tidak memiliki
ijazah SD, yakni sebesar 33,34 persen. Selanjutnya sebanyak 30,16% ibu hanya
memiliki ijazah SD atau sederajat. Dan hanya terdapat 16,78% ibu yang
berpendidikan setara SMA. Hanya 7,07% ibu yang berpendidikan perguruan tinggi.
Penyerapan informasi yang beragam
dan berbeda sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seorang ibu. Latar
pendendidikan formal serta informal akan sangat berpengaruh pada seluruh aspek
kehidupan para ibu mulai dari segi pikiran, perasaan maupun tindakannya.
Dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi calon ayah dan calon ibu akan mampu merncanakan kehamilan dangan baik
sehingga bisa terhindar dari 4 Terlalu yaitu melahirkan terlalu muda (dibawah
20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan
kurang dari 2 tahun) dan terlalu banyak (lebih dari 4 kali).
Asumsinya Semakin tinggi tingkat
pendidikan seorang ibu, maka akan semakin tinggi pula kesadaran mereka terhadap
proses pra kehamilan dan pasca kehamilannya, sehingga untuk menjaga agar
dirinya sehat dalam masa kehamilan maka ibu tersebut pasti akan melaporkan dan
memeriksakan dirinya kepada tenaga medis yang ahli dibidangnya. Dan sebaliknya,
jika pendidikan seorang ibu rendah seperti yang banyak terjadi di Indonesia,
maka kesehatannya selama masa kehamilan tidak begitu diperhatikan. Oleh sebab
itu banyak terjadi kematian pada ibu melahirkan yang disebabkan kesadaran akan
kesehatan yang rendah.
2. Lingkungan
Lingkungan juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi KIA. Banyak aspek yang mempengaruhi KIA yang dapat
dilihat dalam suatu lingkungan. Dalam hubungannya dengan meningkatnya kasus
kematian ibu (hamil, melahirkan dan nifas), lingkungan yang dibahas adalah
aspek geografis. Kondisi geografis suatu lingkungan mempengaruhi kondisi
kesehatan masyarakat di lingkungan itu sendiri. Asumsinya kondisi lingkungan yang tidak mendukung, seperti
sulit terjangkau oleh sarana transportasi tentu saja mengakibatkan sulitnya
sarana dan tenaga kesehatan untuk menjangkau daerah tersebut. Imbasnya, kondisi
kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut akan terbengkalai, masyarakat akan
minim dalam sarana kesehatan, dan banyak ibu yang mengalami kesulitan selama
masa kehamilan, melahirkan dan juga nifas, sehingga angka kematian ibu (hamil,
melahirkan dan nifas) akan terus bertambah besar.
3. Ekonomi
Kondisi keuangan yang tidak
mencukupi tentu menyulitkan para ibu (hamil, melahirkan dan nifas) untuk memperoleh fasilitas kesehatan yang
memadai. Oleh sebab itu, mereka cenderung tidak memeriksakan kesehatan dirinya
pra kehamilan hingga pasca kehamilan. Akibatnya, banyak ibu yang meniggal saat
melahirkan karena penyakit yang baru diketahui ketika akan melahirkan.
4. Minimnya Tenaga Medis
Salah satu faktor tingginya AKI di
Indonesia adalah disebabkan karena relatif masih rendahnya cakupan pertolongan
oleh tenaga kesehatan. Departemen Kesehatan menetapkan target 90 persen persalinan
ditolong oleh tenaga medis pada tahun 2010. Perbandingan dengan hasil survei
SDKI bahwa persalinan yang ditolong oleh tenaga medis profesional meningkat
dari 66 persen dalam SDKI 2002-2003 menjadi 73 persen dalam SDKI 2007. Angka
ini relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand.
Asumsinya dengan cukupnya tenaga medis
diharapkan persoalan berupa keaslian data dan kasus yang tidak tersentuh dapat
dikurangi sehingga dapat mengurangi angka AKI.
5. Adat Istiadat
Pada kasus kematian ibu akibat
perdarahan faktor budaya yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu
adalah kecenderungan bagi ibu di perdesaan dan keluarga miskin untuk melahirkan
dengan bantuan dukun beranak, bukan dengan bantuan petugas medis yang telah
disediakan. Ada pula tradisi suku tertentu yang mengharuskan ibu nifas
ditempatkan dalam suatu tempat yang dapat dikatakan kurang higienis
Masalah tingginya angka kematian ibu
dan bayi dapat ditanggulangi dengan berbagai cara yaitu:
1. Menggalakkan kampanye KB
Dengan mengkampanyekan KB dan
"Dua Anak Cukup", maka kesehatan ibu hamil dan melahirkan akan
menjadi lebih baik sehingga bisa meminimalisasi faktor "empat
terlalu" yang menjadi penyebab terbanyak AKI dan AKB.
2.
Penyuluhan
Penyuluhan ini dilakukan oleh
institusi kesehatan dengan cara sms gateway dan MPS Online. Dengan adanya upaya
penyuluhan ini diharapkan kesadaran ibu hamil akan kesehatan dan keselamatan
dirinya dan bayinya dapat ditingkatkan.
3. Perbaikan layanan kesehatan dan
infrastruktur
Perbaikan layanan kesehatan ini
berkaitan dengan pengadaan peralatan medis yang memadai serta lebih diutamakan
kepada administrasi layanan kesehatan itu sendiri. Perbaikan ini bertujuan agar
masyarakat mau memeriksakan kesehatan pada layanan kesehatan yang ada tanpa
terbelit dengan proses administrasi yang lama dan panjang serta peralatan medis
lain yang kurang memadai.
Perbaikan infrastruktur yang akan
menunjang akses kepada pelayanan kesehatan seperti transportasi, ketersediaan
listrik, ketersediaan air bersih dan sanitasi, serta pendidikan dan
pemberdayaan masyarakat utamanya terkait kesehatan ibu dan anak yang menjadi
tanggung jawab sektor lain memiliki peran sangat besar untuk menurunkan angka
kematian ibu dan bayi.
4. Meningkatkan Jumlah Tenaga Medis
Meningkatkan jumlah tenaga medis di
sini diutamakan pada desa-desa terpencil yang aksesnya sulit menuju tempat
pemeriksaan kesehatan dan sebagainya. Adanya bidan masuk desa merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan jumlah tenaga medis di daerah terpencil.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Angka Kematian Ibu dan Angka
kematian Bayi merupakan indikator derajat kesehatan masyarakat. Derajat
kesehatan masyarakat di Indonesia masih rendah dilihat dari tingginya Angka
Kematian Ibu dan Angka kematian Bayi, begitu pula halnya seperti di provinsi
Sumatera Barat dan Kabupaten Sidoarjo walaupun setiap tahun mengalami penurunan
Angka Kematian Ibu dan Angka kematian Bayi tetapi masih tergolong tinggi.
Penyebab-penyebab masih tingginya Angka
Kematian Ibu dan Angka kematian Bayi terjadi karena beberapa faktor, seperti
faktor langsung (penyakit yang di derita oleh Ibu dan Bayi) dan faktor tidak
langsung (Pendidikan, Lingkungan, Fasilitas Kesehatan dan lain sebagainya).
Tingginya Angka Kematian Ibu dan
Angka kematian Bayi dapat diturunkan dengan mengatasi faktor-faktor penyebab
tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka kematian Bayi dan yang berperan dalam
hal ini adalah Masyarakat, Tenaga Medis dan Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Indawati
R, Wandira AK. 2012. Faktor Penyebab Kematian Bayi Di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal
Biometrika dan Kependudukan, Volume 1 Nomor 1. Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM UNAIR. Fakultas Kesehatan Masyarakat Iniversitas
Airlangga. Surabaya
Dwi
Sarwani SR dan Nurlaela.S. Analisis Faktor Risiko Kematian Ibu (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas). Jurusan
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu-Ilmu Kesehatan. Universitas Jenderal Soedirman.
Helmizar.2014. Evaluasi
Kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal) Dalam Penurunan
Angka Kematian Ibu Dan Bayi Di
Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Jurusan Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Indonesia
Mariati, Agus, Sulin, Masrul, Amri, Arasy, Muslim, Hanum, Mohanis
& Arma. 2011. Studi Kematian Ibu dan Kematian Bayi di Provinsi
Sumatera Barat: Faktor Determinan dan
Masalahnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol. 5, No. 6.
Jurusan Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Padang dan Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas
R. Haryono Roeshadi.2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan
Kematian Ibu Pada Penderita Preeklamsia dan
Eklampsia.Universitas Sumatera Utara. Medan
Departemen Kesehatan. 2012. Pusat Data dan Informasi. Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.